Anomali Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi, Pilpres dan Pilkada

L.M. Ricard Zeldi Putra, S.H., M.H, Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton.

Konsep Negara Hukum

Pasca amandemen UUD 1945 ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. A. Hamid Attamimi menjelaskan negara hukum merupakan negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan pelaksanaan kekuasaan itu dalam segala bentuknya dilakukan di bawah supremasi hukum. Konsekuensi dari konsep negara hukum yang berlaku di Indonesia ini memberikan gambaran bahwa segala penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara dimulai dari aspek pemerintah, organ negara maupun masyarakatnya harus tunduk dan patuh pada hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Dalam pandangan Montesqie dalam bukunya “L’Esprit de Lois membagi kekuasaan dalam negara yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif. Pelaksanaan prinsip negara hukum di dalam UUD 1945 yakni dengan memisahkan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara dengan prinsip saling mengawasi dan saling mengimbangi. Hal ini juga berlaku bagi lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) yang diberikan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan.

Bacaan Lainnya

Putusan Mahkamah Konstitusi

Mahkamah Konstitusi (MK) diberikan kewenangan uji konstitusionalitas atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan ini diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 dan UU Mahkamah Konstitusi. Secara konseptual dan regulasi mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Makna frasa pertama dan terakhir ini adalah tidak dapat dilakukannya upaya hukum seperti banding atau kasasi. Pengertian sifat final putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah tidak dapat dilakukan upaya hukum atau perlawanan hukum. Sifat final (legaly binding) dalam putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi mengikat sebagai norma hukum sejak diucapkan dalam persidangan. Final berarti bahwa putusan Mahkamah Konstitusi secara langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Putusan final ini langsung berlaku mengikat, yang juga dapat diartikan bahwa semua pihak, baik itu orang, badan publik atau lembaga negara wajib mematuhi dan melaksanakan putusan yang telah dijatuhkan. Sebuah putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat digunakan, berarti putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan mengikat (resjudicata pro veritate habetur).

Putusan yang bersifat final telah tertutup segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum dapat dipastikan telah mempunyai daya hukum yang mengikat (inkracht van gewijdse). putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir-constitutief. Declaratoir secara sederhana dapat diartikan sebagai putusan hakim yang menjadi hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi meniadakan satu keadaan hukum atau membentuk hukum baru. Keadaan meniadakan atau membentuk hukum baru ini yang kemudian diartikan bahwa Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator.

Sifat declaratoir tidak membutuhkan aparat yang melakukan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan yang menyatakan bagian undang-undang, ayat dan/atau pasal bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat juga sekaligus merupakan putusan yang bersifat constitutief. Setiap putusan yang dijatuhkan Mahkamah Konstitusi bersifat erga omnes. Artinya putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mengikat para pihak yang berperkara yang dirugikan hak konstitusionalnya (pihak pemohon), namun mengikat secara publik. Putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis mengikat dan harus dipatuhi oleh setiap warga negara dan seluruh elemen bangsa dan Lembaga negara di wilayah Indonesia.

Anomali Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pemilu Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia anomali diartikan sebagai ketidaknormalan, penyimpangan dari normal, kelainan, penyimpangan atau kelainan. Sedangkan implementasi adalah pelaksanaan atau penerapan.

Menyikapi lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, para Akademisi utamanya akademisi Hukum Tata Negara di beberapa media nasional secara tegas menolak Revisi RUU pilkada menjadi UU oleh DPR RI dan Pemerintah yang dimana pemerintah dan DPR kemudian melakukan revisi RUU Pilkada yang sangat cepat hanya dilaksanakan 1 hari yang menciderai asas asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan putusan MK yg final dan binding tidak di jadikan acuan. Sebuah anomali dalam sistem perundang-undangan Indonesia dan bernegara dimana pada saat pemilu 2024 yang baru saja dilaksanakan terkait dengan syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang awalnya masyarakat dan beberapa elemen dan pemerhati menolak putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia Capres Cawapres dan kemudian seluruh elemen menerima dengan dasar lahirnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang bersifat final dan binding yang harus diikuti dan bersifat final mengikat sejak putusan itu dibacakan dan harus dipatuhi oleh seluruh elemen termasuk pemerintah, DPR, DPD, KPU, Bawaslu, partai politik serta masyarakat yang dibuktikan dengan pencalonan Pasangan Nomor urut 02 pada pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024.

Berbeda halnya dengan lahirnya putusan MK terbaru Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 27 November 2024, DPR dan Pemerintah Serta DPD kemudian dengan cepat melakukan Rapat pembicaraan Tingkat I dalam Panitia kerja Revisi RUU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang merespons putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang serta dengan cepat akan dijadwalkan pada hari ini 22 agustus 2024 akan disahkan menjadi UU tentunya ini menjadi pertanyaan besar. Walaupun ada partai yang secara tegas menolak dan materi muatan dalam RUU Pilkada tersebut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi juga secara formil proses pembentukan RUU ini tidak berdasarkan lazimnya proses pembentukan suatu UU yang memerlukan waktu dan proses proses yang sesuai dengan pembentukan suatu UU.

Jika kita melihat kebelakang, hadirnya putusan MK yang awalnya negatif legislation menjadi positif legislation. Tentunya ini merupakan evaluasi dari kompromi lahirnya suatu Undang-Undang yang sudah mencerminkan kedaulatan rakyat dengan dibahasnya antara DPR dan Pemerintah yang bisa saja bersifat politis sebagaimana diungkapkan oleh ahli bahwa hukum itu adalah produk politik, dengan kehadiran MK bisa mengevaluasi hal tersebut melalui putusannya yang berpihak pada masyarakat luas dan menegakan hukum dan konstitusi itu sendiri. Dari lahirnya 2 (dua) putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 antara pilpres dan pilkada dalam implementasinya menerjemahkan kedua putusan MK tersebut terdapat anomali dan bertolak belakang dalam menyikapinya oleh lembaga negara baik pemerintah, KPU, DPR dan DPD.

Dalam putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang pilpres, positif legislation yang tidak terukur mengenai batas usia dipertegas juga oleh beberapa Hakim MK yang dissenting opinion tetapi KPU, pemerintah Dan DPR setuju dengan Putusan MK tersebut dengan alasan bahwa putusan MK bersifat final dan binding tetapi berbeda halnya dengan lahirnya putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tidak diikuti, ditaati, diindahkan dan seolah-olah menganggap MK melakukan positif legislation yang sebenarnya sudah banyak putusan MK positif legislation karena harus ada pengaturan norma baru akibat kekosongan norma dalam menyatakan batal atau tidak sah dan bertentangan dengan UUD 1945 suatu ayat, pasal dan norma tertentu dalam UU yang harus diatur dengan positif legislation.

Kemudian berkaitan dengan regulasi yang mengatur DPR dan pemerintah sebagai lembaga pembentuk UU sah juga untuk merevisi RUU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Tetapi harus di garisbawahi bahwa RUU tersebut harus memuat putusan MK dan bukan menyimpangi putusan MK yang dimana dalam pengaturan yang ada didalam UU Pembentukan pembentukan peraturan perundang-undangan harus mengacu pada putusan MK atau dibuat dibentuk akibat putusan MK.

Dari hal tersebut diatas terdapat sebuah anomali dalam cara menyikapi lembaga negara antara putusan MK tentang Pemilu Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia. Sehingga sudah sepatutnya putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang yang bersifat final dan binding mengikat dijalankan secara konsekuen dan ditaati mengikat oleh seluruh elemen maupun lembaga negara sebagaimana pelaksanaan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sehingga hukum dapat menjadi Panglima. Semoga…

Oleh : L.M. Ricard Zeldi Putra, S.H., M.H (Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton, Alumni S1 Fakultas Hukum UHO, Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar)

banner 300x250

Pos terkait