Dipaksa Humanis di Negara Anarkis, Mengalah dan Melawan Sama Sama Jadi Masalah

Humanisme Bukan Pilihan, Melainkan Kewajiban

NARASITIME.com – Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas dilindas kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, menyisakan luka mendalam. Peristiwa ini tidak hanya menyoroti persoalan teknis pengamanan massa, tetapi juga membuka ruang diskusi serius mengenai orientasi aparat dalam menjalankan mandat hukum. Ironisnya dalam kasus ini, muncul narasi dari sebagian pihak yang menyebut bahwa aparat “dipaksa humanis di negara anarkis.”

Narasi ini berbahaya sekaligus menyesatkan. Ia berusaha membalikkan logika hukum dengan menempatkan humanisme sebagai beban, dan menjadikan kekacauan sosial sebagai legitimasi bagi tindakan represif. Padahal, dalam perspektif hukum tata negara maupun hukum hak asasi manusia, prinsip humanisme bukanlah pilihan yang bisa ditawar, melainkan kewajiban yang melekat pada setiap aparat penegak hukum.

Bacaan Lainnya

Indonesia Adalah Negara Hukum, Bukan Negara Anarkis

Konstitusi Indonesia secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Artinya, segala tindakan, termasuk penggunaan kekuatan oleh aparat, harus tunduk pada hukum, bukan pada persepsi subjektif mengenai situasi lapangan. Menyebut Indonesia sebagai “negara anarkis” hanya karena adanya demonstrasi adalah bentuk pengingkaran terhadap esensi demokrasi.

Demonstrasi bukanlah tanda anarki. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap orang untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat secara damai. Bahkan ketika demonstrasi berlangsung dengan tensi tinggi, negara tidak boleh melepaskan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi warga.

Hak Asasi Manusia sebagai Batas Kekuasaan

Hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 28I UUD 1945 dan ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Dengan demikian, hilangnya nyawa warga sipil akibat tindakan aparat bukan sekadar persoalan teknis, tetapi pelanggaran serius terhadap hukum dan HAM.

Selain itu, aparat kepolisian berdasarkan Pasal 13 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 memiliki kewajiban melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Prinsip penggunaan kekuatan oleh aparat sudah diatur secara ketat dalam Pasal 3 Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, yakni harus memperhatikan legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas. Tindakan yang melampaui prinsip tersebut, apalagi hingga menewaskan warga sipil, tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun, termasuk solidaritas korps.

Narasi “Dipaksa Humanis” Adalah Logika Terbalik

Narasi “dipaksa humanis” sesungguhnya adalah bentuk delegitimasi terhadap negara hukum. Humanisme dianggap sebagai beban, seolah-olah aparat dipaksa menahan diri dalam menghadapi situasi yang dianggap anarkis. Padahal, justru humanisme adalah inti dari negara hukum. Tanpa humanisme, hukum hanya menjadi alat kekuasaan belaka.

Jika aparat merasa tidak perlu lagi humanis, maka yang lahir adalah praktik negara kekuasaan (machstaat), bukan negara hukum (rechtstaat). Aparat tidak lagi tunduk pada hukum, melainkan pada insting kekerasan. Inilah yang berbahaya, karena akan melahirkan impunitas: ketika aparat melakukan pelanggaran, mereka berlindung di balik narasi situasi darurat, sementara korban kehilangan ruang keadilan.

Humanisme sebagai Fondasi Keadilan

Kita perlu menegaskan kembali bahwa humanisme bukan kelemahan, melainkan kekuatan negara hukum. Aparat yang mampu menegakkan hukum dengan tetap menjaga martabat manusia adalah bukti kedewasaan demokrasi. Sebaliknya, aparat yang menggunakan kekerasan membabi buta hanya akan menambah luka sosial, memperlebar jarak dengan masyarakat, dan menurunkan legitimasi institusinya sendiri.

Tragedi Affan Kurniawan adalah alarm keras bagi negara. Ia menegaskan betapa pentingnya akuntabilitas aparat, betapa mendesaknya evaluasi penggunaan kendaraan taktis dalam pengendalian massa, dan betapa bahayanya membiarkan narasi represif menggeser prinsip hukum.

Dalam negara hukum, tidak ada ruang bagi narasi yang membenarkan kekerasan dengan alasan situasi anarkis. Humanisme bukanlah pilihan yang bisa ditawar-tawar, melainkan kewajiban hukum dan moral yang melekat pada setiap tindakan aparat negara. Tragedi ini harus menjadi momentum untuk mengingatkan kembali bahwa tugas aparat bukanlah menakut-nakuti rakyat, melainkan melindungi mereka.

Jika kita membiarkan narasi “dipaksa humanis di negara anarkis” terus hidup, maka kita sedang mengikis fondasi negara hukum itu sendiri. Indonesia akan kehilangan roh demokrasinya, bergeser dari negara hukum menuju negara kekuasaan. Karena itu, tragedi Affan bukan hanya soal duka keluarga dan komunitas ojek online, melainkan juga soal masa depan hukum dan kemanusiaan di negeri ini.

Oleh: Samsul., SH,. MH (Kaprodi Prodi Ilmu Hukum UM Buton/Dosen Hukum Tata Negara)

banner 300x250

Pos terkait