L.M. Ricard Zeldi Putra, Ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton/Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
- Pendahuluan
Perkembangan ketatanegeraan Indonesia melalui amandemen UUD 1945 merupakan pintu masuk menuju sistem demokrasi, ditandai dengan lahirnya lembaga-lembaga negara baru. Lembaga tersebut lahir atas beberapa dasar hukum, maksudnya yakni terdapat lembaga negara yang kewenangan dan lembaganya disebutkan secara jelas dalam UUD, melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang (UU), bahkan terdapat lembaga yang kewenangannya bersumber dari Keputusan Presiden (Kepres) dan Peraturan Presiden (Perpres).
Aturan hukum Indonesia sejatinya belum menetapkan regulasi yang jelas tentang lembaga negara. Menurut penulis, hal tersebut juga berdampak pada beberapa nama yang dipadankan dengan lembaga negara, antara lain: otoritas, komisi, dewan, komite, panitia, badan, pusat, tim dan lain sebagainya. Belum ada aturan konkrit yang membedakan beberapa istilah tersebut, apakah “lembaga” merupakan lembaga negara yang kewenangan dan namanya disebutkan langsung oleh UUD dan “komisi” merupakan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang.
Jika ditelaah lebih jauh, sesungguhnya limitasi pasal 24 UUD 1945 hanya bertumpu pada struktur tetapi tidak pada fungsi kelembagaan dimana masih banyak lembaga/badan yang ada didalam pemerintahan yang menjalankan fungsi kehakiman. Munculnya Lembaga negara independen yang menjalankan fungsi kehakiman misalnya:
- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha), pasal 36 mengatur wewenang KPPU khususnya pada poin e sampai poin k bahwa KPPU berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pelanggaran persaingan usaha.
- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran juga berwenang untuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pelanggaran penyiaran. Meskipun bentuk produk akhirnya bukan merupakan putusan namun tetap saja masuk dalam fungsi kehakiman karena KPI adalah lembaga yang berwenang menentukan ada atau tidaknya pelanggaran penyiaran sekaligus memberikan sanksi atasnya.
- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) lembaga negara independen yang memiliki wewenang untuk mengawasi Penyelenggaraan Pemilihan Umum maupun Pilkada, didalam UU Pilkada Bawaslu berwenang untuk untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa antar peserta pemilihan serta Peserta Pemilihan dengan penyelenggara Pemilihan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Dengan berbagai uraian diatas maka sesungguhnya selama ini masih banyak lembaga/badan independen yang menjalankan fungsi kehakiman yang berada diluar MA maka keberadaan Badan peradilan khusus Pilkada sebagai lembaga independen tidak mesti berada di bawah naungan dan menjadi unit pada Pengadilan dibawah MA karena pada akhirnya struktur dan fungsi Badan Peradilan Khusus Pilkada akan diatur dengan ketentuan tersendiri maupun dalam UU Pilkada walaupun ia bersifat ad hoc, termasuk gagasan akan diambil alih oleh Bawaslu menjadi tidak relevan karena dalam perkara perselisihan hasil pemilihan, Bawaslu dan Bawaslu Kab/Kota menjadi pihak pemberi keterangan didalam persidangan.
- Pembahasan
Salah satu karakteristik lembaga-lembaga tersebut yakni perihal independensi, secara sederhana dapat diartikan bahwa suatu lembaga tidak dapat diintervensi oleh lembaga lainnya. Jimly Asshiddiqie menyebut lembaga tersebut sebagai Lembaga Negara Independen (LNI) (Asshiddiqie, 2013) atau Independent regulatory agencies (IRAs). Lembaga Negara Independen dibentuk atas kehendak negara untuk yang menginginkan suatu lembaga negara baru dengan keanggotaan yang berasal dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara (Alamsyah & Huda, 2013). Pembentukan LNI dapat dikatakan hanya bersifat reaksioner, sehingga tidak memiliki kedudukan dan marwah yang jelas dalam sistem ketatanegaraan (Tauda, 2011). Sebangun dengan itu, Zainal Arifin Mochtar menyebutkan bahwa pembentukan LNI di Indonesia terkadang hanya untuk alasan pencitraan rezim saja, dan dibentuk dengan proses yang terburu-buru (Ramadani, 2020).
William F. Funk dan Robert H. Seamon menambahkan bahwa lembaga negara independen secara praktis menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dengan mengkombinasikan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif atau kekuasaan yang bersifat kuasi. Pada lembaga yang tergolong dalam Independent Regulatory Agencies (IRAs) juga memiliki kewenangan yang berciri self-regulatory atau rule making, yakni semacam otonomi yang diberikan untuk membuat aturan kelembagaan sendiri secara mandiri (Ramadani, 2020).
Menurut Peter A Gerangelos (Gerangelos, 2009) bahwa: In relation to the separation of judicial power in particular, it was ‘quite clear from an early date that the judicial power of the Commonwealth was regarded as in a special category’.The purpose to be achieved here, ultimately, was the sure protection of the rule of law. (Sehubungan dengan pemisahan kekuasaan kehakiman khususnya, itu cukup jelas dari tanggal awal bahwa kekuasaan kehakiman dari negara maju dianggap sebagai kategori khusus. Tujuan yang akan dicapai pada akhirnya, adalah adanya perlindungan terhadap hukum. Tercipta suatu supremasi hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui pengakuan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia yang bertujuan untuk ketertiban hukum merupakan dambaan masyarakat Negara serta cita-cita negara hukum yang demokratis.
Badan Peradilan Khusus Pemilihan yang akan dibentuk sebagai bagian dari hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) adalah suatu lembaga yang independen karena harus bebas dari intervensi kekuasaan lainnya. Badan ini akan menjalankan fungsi peradilan yang memeriksa dan memutus sengketa hasil Pilkada. Oleh sebab itu, independensi Badan Peradilan Khusus Pemilihan dapat penulis jabarkan sebagai berikus, sesuai dengan parameter Independent Regulatory Agencies di atas yakni:
Party Politicisation of appoinments, hakim pada Badan Peradilan Khusus Pemilihan berjumlah 5 (lima) orang terdiri atas 2 (dua) hakim konstitusi dan 3 (tiga) hakim ad hoc. Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi. Badan Peradilan Khusus Pemilihan ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan Undang-Undang.
- Departures (dismissal and resignation). Hakim Ad Hoc diberhentikan dengan hormat dari jabatannya, karena: a. meninggal dunia; b.permintaan sendiri; c.sakit jasmani atau rohani terus menerus selama 6 (enam) bulan berdasarkan surat keterangan dokter yang dibuat oleh dokter yang berwenang; d. tidak cakap dalam menjalankan tugas; atau e.telah selesai masa tugasnya.
Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi.
Hakim Ad Hoc diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan alasan: a.dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; b. selama 3 (tiga) kali berturut-turut melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya tanpa alasan yang sah;c.melanggar sumpah atau janji jabatan; d.melakukan perbuatan tercela; atau rangkap jabatan.
- The Tenure of IRA members. Hakim ad hoc diangkat untuk selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
- The financial and Staffingresources of IRA. Anggaran Badan Peradilan Khusus Pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
- The use of power to overturn the decisions of IRAs by elected politicians. Badan Peradilan Khusus Pemilihan berwenang untuk menetapkan Kode etik dan/atau Pedoman perilaku hakim besama-sama dengan Mahkamah Konstitusi.
- Sanctioning Authorities/Quasi judicial power. Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup; Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti, Badan Peradilan Khusus Pemilihan mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Konstitusi.
- Self-regulatoryatau rule making. Badan Peradilan Khusus Pemilihan dapat membuat aturan kelembagaan sendiri secara mandiri.
Berdasarkan konsepsi tersebut, dapat dilihat bahwa Badan Peradilan Khusus Pemilihan merupakan lembaga dengan independensi yang cukup, karena dalam penentuan hakim tidak menjadi kewenangan penuh dari Badan Peradilan Khusus. Hal tersebut tidak berarti akan membawa dampak buruk, karena proses itu merupakan salah satu bentuk pengejawantahan prinsip checks and balances, yang mana prinsip checks and balances merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi yang dipilih dan diamalkan oleh Indonesia. Prinsip tersebut bertujuan agar seluruh lembaga negara dapat saling mengontrol dan mengimbangi sehingga tidak ada lembaga yang lebih superior atau lebih tinggi daripada lembaga negara lainnya.
Lebih lanjut, beberapa literatur telah memberi sedikit gambaran tentang Badan Peradilan Khusus,khususnya untuk menjawab pertanyaan tentang berada pada lingkungan manakah Badan Peradilan Khusus akan dibentuk, apakah berada di bawah Mahkamah Agung, ataukah akan dikembalikan pada Mahkamah Konstitusi, atau akan menjadi lembaga quasi peradilan yang hanya menjalankan fungsi peradilan dan tidak berada pada cabang kekuasaan yudikatif melainkan bagian dari kekuasaan lainnya. Supriyadi dan Aminuddin Kasim dalam karya ilmiah yang bertajuk “Desain Badan Peradilan Khusus Pemilihan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013” menyampaikan narasi ilmiah perihal Badan Peradilan Khusus. Supriyadi dan Aminuddin membangun argumentasi dengan berdasarkan pada putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 serta Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Badan Peradilan Khusus adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa perselisihan hasil Pilkada (konsekuensi dari putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa MK tidak lagi memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa perselisihan hasil Pilkada).
Dalam karya ilmiah a quo, sesuai dengan putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah maka Badan Peradilan Khusus akan dibentuk pada lingkungan peradilan Mahkamah Agung. Dengan kata lain akan terdapat satu tambahan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (Peradilan TUN), serta tambahan Badan Peradilan Khusus.
Dasar argumentasi lain yang digunakan untuk membangun narasi pada karya ilmiah tersebut yakni Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,menyebutkan “Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang”. Jika mencermati pasal tersebut khususnya pada kalimat “[…] pengadilan khusus hanya dibentuk dalam salah satu lingkungan badan pengadilan yang berada di bawah mahkamah agung […]” kemudian ditautkan dengan gambar yang dipaparkan oleh Supriyadi dan Amuniddin maka dapat dikatakan bahwa Badan Peradilan Khusus sebagai lingkungan badan pengadilan baru yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah kurang tepat jika menggunakan dasar argumentasi Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, karena secara tegas pasal a quo menyebutkan bahwa pengadilan khusus dibentuk dalam salah satu lingkungan pengadilan di bawah mahkamah agung, dalam hal ini pada lingkungan pengadilan umum (pengadilan khusus tindak pidana korupsi, pengadilan khusus anak dan sebagainya), lingkungan pengadilan agama, lingkungan pengadilan militer dan lingkungan pengadilan TUN.
Konsepsi yang disampaikan di atas pada dasarnya dapat diamini dengan beberapa catatan: pertama, sesuai dengan beberapa aturan yang menyebutkan pengadilan khusus hanya dapat dibentuk pada salah satu lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung maka Badan Peradilan Khusus akan dibentuk pada salah satu dari empat lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Perihal pada lingkungan peradilan mana secara khusus dapat dibahas dalam karya ilmiah lainnya, apakah berada pada lingkungan peradilan umum dan Badan Peradilan Khusus tidak hanya menyelesaikan sengketa hasil pemilihan tetapi juga penyelenggaran pidana pemilu, atau berada pada lingkungan peradilan TUN. Menurut penulis sendiri, Badan Peradilan Khusus juga dapat dibentuk dan berada di bawah Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, Badan Peradilan Khusus Pemilihan akan berbentuk ad hoc. Belum terdapat regulasi khusus yang menjelaskan tentang lembaga ad hoc. Mahfud MD (Prawiro, 2018) menjelaskan yang dimaksud dengan ad hoc adalah sejak semula dimaksudkan sementara sampai dengan terjadi situasi normal. Sedangkan Asshiddiqie tidak menjelaskan pengertian ad hoc hanya mengatakan bahwa “[…] ada pula lembaga-lembaga yang bersifat ad hoc atau tidak permanen. (Asshiddiqie, 2008)”. Dari narasi tersebut dapat dikatakan bahwa lembaga ad hoc merupakan lembaga negara yang bersifat sementara atau tidak permanen yang dibentuk untuk menangani peristiwa tertentu. John Alder sebagaimana dikutip oleh Asshiddiqie berpendapat bahwa lembaga ad hoc tetap memiliki alasan pembenar secara konstitusional, dikatakan bahwa (Alder, 1989).
“Ad hoc bodies can equally be used as a method of dispersing power or as a method of concentrating power in the hands of central government nominees without the safeguard of parliamentary or democratic accountability. The extent of governmental control can be manipulated according to the particular circumstances.”
Sir Ivor Jennings (Asshiddiqie, 2008) menyebutkan bahwa lembaga ad hoc di Inggris dibentuk dengan berbagai salah satu dari 5 (lima) alasan utama, antara lain: “The need to provide cultural or personal services supposedly free from the risk of political interference. Berkembangnya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya atau pelayanan yang bersifat personal yang diidealkan bebas dari risiko campur tangan politik, seperti misalnya the BBC (British Broadcasting Corporation); The desirability of non-political regulation of markets. Adanya keinginan untuk mengatur dinamika pasar yang sama sekali bersifat non-politik, seperti misalnya Milk Marketing Boards; The regulation of independent professions such as medicine and the law. Keperluan mengatur profesi-profesi yang bersifat independen seperti di bidang hukum kedokteran; The provisions of technical services.
Kebutuhan untuk mengadakan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis (technical services) seperti antara lain dengan dibentuknya komisi, the Forestry Commission; The creation of informal judicial machinery for settling disputes. Terbentuknya berbagai institusi yang berfungsi sebagai alat perlengkapan yang bersifat semi-judisial untuk menyelesaikan berbagai sengketa di luar peradilan sebagai ‘alternative dispute resolution’ (ADR).
Alder kemudian menambahkan satu alasan dibentuknya lembaga ad hoc yakni, adanya ide public ownership of key sectors of the economy is desirable in itself. Artinya, pemilikan oleh publik di bidang ekonomi atau sektor tertentu dianggap lebih tepat diorganisasikan dalam wadah organisasi tersendiri, seperti yang banyak dikembangkan akhir-akhir ini, misalnya dengan ide Badan Hukum Milik Negara (BHMN) (Asshiddiqie, 2008).
Dalam konteks di Indonesia, dasar terbentuknya lembaga ad hoc biasanya dilatarbelakangi akan kebutuhan untuk menyelesaikan permasalahan secara cepat dengan limitasi waktu. Selain itu, pembentukan lembaga ad hoc terjadi karena lembaga awal yang melaksanakan tugas dan fungsi tertentu tidak dapat menunaikannya dengan maksimal atau lembaga awal tersebut over tugas dan fungsi. Ataupun perkara yang terlalu menumpuk, sehingga untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dibentuklah suatu lembaga ad hoc yang bersifat sementara, dan bilamana permasalahan tersebut sudah dapat teratasi maka lembaga ad hoc itu dapat dibubarkan. Meskipun dalam beberapa literatur dikatakan bahwa lembaga negara dengan sifatnya ad hoc untuk masa tertentu, dalam praktiknya karena jumlah yang banyak sehingga mekipun waktunya habis, lembaga tersebut tidak atau belum juga dibubarkan. Permasalahan lain yang disebabkan karena ketidakjelasan regulasi tentang lembaga ad hoc, melahirkan pendapat tentang lembaga yang awalnya dikenal sebagai lembaga ad hoc semakin kesini dianggap tidak lagi bersifat sementara, misalnya beberapa ahli menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasa Korupsi bukan lembaga ad hoc, begitu juga dengan Ombudsman. Dalih yang sering digunakan untuk menepis justifikasi lembaga ad hoc yakni, bahwa dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dibentuknya lembaga (yang dipandang bersifat ad hoc) tidak memuat ketentuan yang secara implisit menyebutkan bahwa lembaga tersebut bersifat ad hoc. Oleh sebab itu, hal ini seharusnya juga mendapatkan perhatian, karena ada konsekuensi yang melekat pada justifikasi lembaga ad hoc, dalam hal ini lembaga tersebut sewaktu-waktu dapat dibubarkan, berbeda halnya dengan lembaga yang bersifat permanen.
Selanjunya, beberapa lembaga ad hoc membebani negara secara finansial. Hal ini disebabkan para pengurus lembaga ad hoc yang tetap memperoleh gaji dari APBN ataupun APBD karena lembaga tersebut tidak kunjung dibubarkan, padahal limitasi waktu telah tercapai dan permasalahan telah terselesaikan sehingga tugas dan fungsi tertentu dapat dijalankan kembali dengan normal oleh lembaga awal (bukan lembaga ad hoc). Lagi-lagi persoalan tidak jelasnya regulasi yang mengatur tentang lembaga ad hoc menjadi salah satu penyebab lahirnya masalah tersebut. Dengan adanya peraturan yang memuat ketentuan tentang pembentukan dan pembubaran lembaga ad hoc, diharapkan dapat menyelesaikan beberapa permasalahan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Namun, dalam hal pembentukan Badan Peradilan Khusus Pemilihan anggapan tersebut harus ditepis, karena urgensi dari pembentukan Badan Peradilan Khusus Pemilihan itu sendiri yang akan memeriksa dan mengadili sengketa hasil Pilkada, dan oleh undang-undang disebutkan bahwa Badan tersebut harus terbentuk sebelum diselenggarakannya pemilihan serentak yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada tahun 2024.
- Penutup
Badan Peradilan Khusus Pemilihan umum merupakan lembaga negara yang independen yang berwenang menyelesaikan sengketa Pemilihan umum dimana berbentuk ad hoc (bersifat sementara). Lembaga ad hoc terbentuk karena kebutuhan penyediaan pelayanan tanpa ada campur tangan luar, keinginan untuk mengatur dinamika yang bersifat non-politik, mengatur profesi yang bersifat independen serta sebagai alat pelengkapan yang bersifat semi-yudisial untuk menyelesaikan sengketa. Maka dari itu lembaga peradilan khusus pemilihan umum ini dibutuhkan untuk meyelesaikan permasalahan secara cepat dengan limitasi waktu.
Daftar Pustaka
Alamsyah, B., & Huda, U. N. (2013). Politik Hukum Pelembagaan Komisi-Komisi Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 2(1), 85. https://doi.org/10.25216/jhp.2.1.2013.85-108
Alder, J. (1989). Constitutional and Administrative Law. London: Macmillan.
Asshiddiqie, J. (2008). Hubungan antar Lembaga Negara Pasca Perubahan UUD 1945. Jakarta.
Asshiddiqie, J. (2013). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press.
Gerangelos, P. A. (2009). The Separation of Powers and Legislative Interference in Judicial Process Constitutional Principles and Limitations (1st ed.). London: Bloomsbury Publishing.
Prawiro, M. (2018). Pengertian Ad Hoc Dalam Pemilu, Hukum, Jaringan, dan Organisasi. Retrieved September 10, 2021, from https://www.maxmanroe.com/vid/organisasi/pengertian-ad-hoc.html
Ramadani, R. (2020). Lembaga Negara Independen Di Indonesia Dalam Perspektif Konsep Independent Regulatory Agencies. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 27(1). https://doi.org/10.20885/iustum.vol27.iss1.art9
Tauda, G. A. (2011). Kedudukan Komisi negara Independen dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Pranata Hukum, Volume 6 N, 173.
Thatcher, M. (2013). Independent regulatory agencies in Europe. Risk and Regulation Magazine, Summer 2005, 117.







