9 Calon Kardinal Kandidat Terkuat yang Diprediksi jadi Pengganti Paus Fransiskus

NARASITIME.com – Prosesi konklaf, yakni pemilihan pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, akan segera digelar setelah wafatnya seorang paus. Meskipun secara kanonik setiap pria Katolik yang telah dibaptis memenuhi syarat untuk menjadi paus, sejak tahun 1378 hanya para kardinal yang secara de facto dipertimbangkan untuk jabatan tersebut. Dalam proses konklaf, seorang calon harus memperoleh sedikitnya dua pertiga suara dari kardinal pemilih yang berusia di bawah 80 tahun.

Pemilihan paus kerap kali menghadirkan kejutan. Paus Fransiskus (Jorge Mario Bergoglio) terpilih pada 2013 dalam usia 76 tahun, meski awalnya tidak diunggulkan. Hal serupa juga terjadi pada Paus Yohanes Paulus II (Karol Wojtyla) yang terpilih pada 1978 tanpa banyak prediksi sebelumnya.

Namun demikian, media dan pengamat Vatikan telah menyebut sejumlah nama yang dinilai berpeluang besar untuk menjadi paus berikutnya. Berikut adalah beberapa kardinal yang disebut-sebut sebagai papabile, atau calon kuat pengganti Paus Fransiskus, sebagaimana dikutip dari The Associated Press, Rabu (23/4/2025).

Bacaan Lainnya
  1. Kardinal Peter Erdo (72), Hungaria

Erdo, 72 tahun, adalah uskup agung Budapest dan primat Hungaria. Ia dua kali terpilih sebagai ketua Dewan Konferensi Episkopal Eropa, yakni pada tahun 2005 dan 2011. Hal ini menunjukkan bahwa ia dihormati oleh para kardinal Eropa, yang merupakan blok pemilih terbesar dalam konklaf. Dalam kapasitas tersebut, Erdo berkesempatan mengenal banyak kardinal Afrika karena dewan tersebut secara rutin mengadakan pertemuan dengan konferensi para uskup Afrika.

Erdo semakin dikenal luas ketika ia membantu menyelenggarakan pertemuan Vatikan mengenai keluarga pada tahun 2014 dan 2015, serta menyampaikan pidato-pidato penting dalam kesempatan tersebut. Selain itu, ia juga tampil menonjol selama kunjungan kepausan ke Budapest pada tahun 2021 dan 2023.

  1. Kardinal Reinhard Marx (71), Jerman

Marx, 71 tahun, adalah uskup agung Munich dan Freising. Ia dipilih oleh Paus Fransiskus sebagai penasihat utama pada tahun 2013. Kemudian, Marx ditunjuk untuk memimpin dewan yang mengawasi keuangan Vatikan selama proses reformasi dan pengetatan anggaran.

Mantan presiden konferensi uskup Jerman ini merupakan pendukung kuat proses dialog kontroversial “jalur sinode” yang dimulai di gereja Jerman pada tahun 2020, sebagai respons terhadap skandal pelecehan seksual oleh para klerus di sana. Akibatnya, ia dipandang dengan skeptis oleh kalangan konservatif yang menganggap proses tersebut sebagai ancaman bagi kesatuan gereja, karena mencakup perdebatan mengenai isu-isu seperti selibat, homoseksualitas, dan penahbisan perempuan.

Marx menjadi sorotan pada tahun 2021 ketika ia secara dramatis menawarkan pengunduran dirinya sebagai uskup agung untuk menebus catatan buruk gereja Jerman dalam kasus pelecehan. Namun, Paus Fransiskus dengan cepat menolak pengunduran diri tersebut dan memintanya untuk tetap menjabat.

  1. Kardinal Marc Ouellet (80), Kanada

Ouellet, 80 tahun, berasal dari Kanada dan memimpin kantor penting Vatikan yang menangani urusan para uskup selama lebih dari satu dekade. Ia mengawasi proses seleksi kandidat yang akan memimpin keuskupan di seluruh dunia. Paus Fransiskus mempertahankannya dalam jabatan tersebut hingga tahun 2023, meskipun ia diangkat oleh Paus Benediktus XVI, dan dengan demikian Ouellet turut memilih uskup-uskup yang lebih berpandangan doktrinal sesuai preferensi Paus Benediktus.

Meskipun dianggap lebih konservatif dibandingkan Paus Fransiskus, Ouellet tetap memilih uskup-uskup yang berpikiran pastoral, mencerminkan keyakinan Fransiskus bahwa seorang uskup harus “berbau seperti domba” dari kawanan yang mereka gembalakan. Ouellet membela kewajiban selibat imam dalam Gereja Ritus Latin dan tetap mempertahankan larangan terhadap penahbisan perempuan, namun ia menyerukan agar perempuan memiliki peran yang lebih besar dalam tata kelola gereja.

Ia memiliki hubungan yang baik dengan Gereja di Amerika Latin, setelah memimpin Komisi Kepausan untuk Amerika Latin selama lebih dari satu dekade. Sejak 2019, kantornya bertanggung jawab menyelidiki para uskup yang dituduh menutupi tindakan imam predator. Tugas ini mungkin tidak membuatnya disukai oleh mereka yang dijatuhi sanksi, tetapi juga bisa memberinya akses terhadap informasi rahasia dan mungkin memberatkan tentang sesama kardinal.

  1. Kardinal Pietro Parolin (70), Italia

Parolin, 70 tahun, berasal dari Italia dan telah menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan sejak tahun 2014. Ia dianggap sebagai salah satu kandidat utama paus berikutnya, mengingat posisinya yang menonjol dalam hierarki Gereja Katolik. Diplomat senior ini mengawasi kesepakatan kontroversial antara Tahta Suci dan Tiongkok mengenai penunjukan uskup, serta terlibat—meskipun tidak didakwa—dalam investasi Vatikan yang gagal di properti real estate di London, yang menyebabkan pengadilan tahun 2021 terhadap seorang kardinal dan sembilan orang lainnya.

Sebagai mantan duta besar untuk Venezuela, Parolin memahami Gereja di Amerika Latin dengan baik. Ia dipandang sebagai sosok yang akan melanjutkan tradisi Paus Fransiskus, tetapi dengan pendekatan yang lebih tenang dan hati-hati sebagai orang dalam dunia diplomasi, serta mengembalikan kursi kepausan ke tangan orang Italia setelah tiga paus berturut-turut dari luar Italia: Santo Yohanes Paulus II (Polandia), Benediktus (Jerman), dan Fransiskus (Argentina).

Namun, meskipun Parolin telah mengelola birokrasi Vatikan, ia tidak memiliki pengalaman pastoral secara langsung.

  1. Kardinal Robert Prevost (69), Amerika Serikat

Lahir di Chicago namun memiliki pengalaman luas di Peru, Prevost kini menjabat sebagai kepala dikasteri untuk para uskup dan presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin. Usianya yang relatif muda dapat menjadi pertimbangan bagi para kardinal.

Gagasan tentang seorang paus asal Amerika Serikat telah lama dianggap tabu, mengingat kekuatan geopolitik yang sudah dimiliki oleh negara tersebut. Namun, Prevost yang lahir di Chicago, berusia 69 tahun, bisa saja menjadi yang pertama. Ia memiliki pengalaman luas di Peru, pertama sebagai misionaris, lalu sebagai uskup agung, dan saat ini menjabat sebagai prefek dari dikasteri penting di Vatikan yang menangani urusan para uskup, termasuk menyaring nominasi uskup di seluruh dunia.

Paus Fransiskus tampaknya telah lama memperhatikan dirinya dan mengutusnya untuk memimpin keuskupan Chiclayo, Peru, pada tahun 2014. Ia memegang posisi tersebut hingga 2023, ketika Fransiskus memanggilnya ke Roma untuk mengisi jabatan yang sekarang. Prevost juga menjabat sebagai presiden Komisi Kepausan untuk Amerika Latin, sebuah posisi yang membuatnya secara rutin berinteraksi dengan hierarki Gereja Katolik di wilayah yang masih menjadi rumah bagi jumlah umat Katolik terbanyak di dunia.

Namun, selain kewarganegaraannya, usia Prevost yang relatif lebih muda bisa menjadi hambatan jika para kardinal memilih untuk tidak menunjuk paus yang kemungkinan akan memerintah selama dua dekade ke depan.

  1. Kardinal Robert Sarah (79), Guinea

Sarah, 79 tahun, dari Guinea, adalah mantan kepala kantor liturgi Vatikan yang sudah pensiun, dan sejak lama dianggap sebagai harapan terbaik bagi seorang paus asal Afrika. Dicintai oleh kalangan konservatif, Sarah akan menjadi simbol kembalinya gaya kepausan yang berlandaskan doktrin dan berorientasi liturgi seperti yang dianut oleh Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI.

Sebelumnya, Sarah memimpin kantor amal Vatikan Cor Unum, dan beberapa kali terlibat benturan dengan Paus Fransiskus. Benturan paling serius terjadi saat ia dan Benediktus bersama-sama menulis buku yang mendukung “keharusan” mempertahankan selibat bagi imam Ritus Latin. Buku ini terbit pada saat Fransiskus tengah mempertimbangkan kemungkinan memperbolehkan imam menikah di wilayah Amazon untuk mengatasi kekurangan imam. Banyak yang menganggap bahwa Sarah telah memanipulasi Benediktus untuk meminjamkan nama dan otoritas moralnya demi buku yang terlihat seperti tandingan terhadap ajaran Fransiskus.

Sebagai tanggapan, Fransiskus memecat sekretaris Benediktus dan beberapa bulan kemudian mempensiunkan Sarah setelah ia berusia 75 tahun. Bahkan para pendukung Sarah mengakui bahwa insiden tersebut telah merugikan peluangnya untuk menjadi paus.

  1. Kardinal Christoph Schoenborn (80), Austria

Schoenborn, 80 tahun, uskup agung Wina, Austria, adalah mantan murid Paus Benediktus, dan di atas kertas tampaknya memiliki kredensial akademik doktrinal yang disukai kalangan konservatif. Namun, ia justru dikenal mendukung salah satu langkah paling kontroversial dari Paus Fransiskus dengan membela pendekatan Fransiskus terhadap umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi secara sipil, yang ia sebut sebagai “perkembangan organik dari doktrin,” bukan suatu penyimpangan seperti yang diklaim oleh sebagian kalangan konservatif.

Orang tua Schoenborn sendiri bercerai saat ia masih remaja, sehingga isu ini sangat personal baginya. Ia juga pernah mendapatkan kritik dari Vatikan ketika mengecam penolakan masa lalu gereja untuk menghukum pelaku pelecehan seksual dari kalangan tinggi gereja, termasuk pendahulunya sebagai uskup agung Wina.

Schoenborn telah menyatakan dukungannya terhadap civil union (serikat sipil) dan perempuan sebagai diakon, serta berperan penting dalam penyuntingan versi pembaruan Katekismus Gereja Katolik tahun 1992 — buku pedoman ajaran gereja — yang sebelumnya digagas oleh Benediktus saat menjabat sebagai kepala kantor doktrin Vatikan.

  1. Kardinal Luis Tagle (67), Filipina

Tagle, 67 tahun, asal Filipina, tampaknya menjadi kandidat pilihan Paus Fransiskus untuk menjadi paus Asia pertama. Fransiskus membawa uskup agung Manila yang populer ini ke Roma untuk memimpin kantor evangelisasi misioner Vatikan, yang melayani kebutuhan Gereja Katolik di sebagian besar wilayah Asia dan Afrika. Perannya menjadi semakin penting ketika Fransiskus mereformasi birokrasi Vatikan dan meningkatkan posisi kantor evangelisasi tersebut.

Tagle sering menyebut garis keturunan Tionghoanya — nenek dari pihak ibu berasal dari keluarga Tionghoa yang pindah ke Filipina — dan ia dikenal sebagai sosok yang mudah terbawa emosi saat membicarakan masa kecilnya. Meskipun ia memiliki pengalaman pastoral, birokrasi Vatikan, dan manajemen — ia pernah memimpin Caritas Internationalis, federasi lembaga amal Vatikan, sebelum menetap di Roma — Tagle dianggap masih relatif muda untuk dipilih sebagai paus seumur hidup. Para kardinal mungkin akan lebih memilih kandidat yang lebih tua dengan masa kepausan yang lebih terbatas.

  1. Kardinal Matteo Zuppi (69), Italia

Zuppi, 69 tahun, uskup agung Bologna dan presiden Konferensi Waligereja Italia yang terpilih pada 2022, memiliki kedekatan erat dengan Komunitas Sant’Egidio, sebuah lembaga amal Katolik yang berbasis di Roma dan berpengaruh di bawah kepemimpinan Paus Fransiskus, terutama dalam dialog antaragama. Zuppi merupakan bagian dari tim Sant’Egidio yang membantu menegosiasikan akhir perang saudara di Mozambik pada 1990-an dan ditunjuk oleh Paus Fransiskus sebagai utusan perdamaian untuk perang Rusia di Ukraina.

Fransiskus mengangkatnya menjadi kardinal pada 2019 dan kemudian secara jelas menginginkannya memimpin para uskup Italia, sebuah tanda kekagumannya terhadap prelatus yang, seperti Fransiskus, dikenal sebagai “imam jalanan.” Sebagai tanda lain dari pandangan progresifnya dan kedekatannya dengan Paus Fransiskus, Zuppi menulis pengantar edisi Italia buku “Building a Bridge” karya Pastor James Martin, seorang Jesuit asal Amerika, tentang perlunya Gereja untuk meningkatkan pendekatan terhadap komunitas LGBTQ+.

Zuppi bisa menjadi kandidat dalam tradisi Fransiskus yang melayani mereka yang berada di pinggiran, meskipun usianya yang relatif muda dapat menjadi kendala bagi para kardinal yang menginginkan masa kepausan yang lebih singkat. Keluarganya memiliki hubungan kelembagaan yang kuat: ayah Zuppi bekerja untuk surat kabar Vatikan L’Osservatore Romano, dan ibunya adalah keponakan dari Kardinal Carlo Confalonieri, dekan Dewan Kardinal pada 1960-an dan 1970-an.

Pemilihan paus adalah momen penting bagi Gereja Katolik, bukan hanya karena perubahan kepemimpinan spiritual, namun juga karena arah masa depan gereja bergantung pada visi paus yang terpilih. Siapapun yang nantinya terpilih, ia akan mewarisi tantangan besar dalam mempertahankan relevansi gereja di tengah perubahan zaman serta dalam merespons isu-isu global dan internal yang kompleks.

SUMBER: TRIAS POLITICA

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *